sekata.id, Fakta empirik dari hasil penelitian di banyak negara dan dukungan teoritik oleh para saintis sosial menunjukkan bahwa korupsi berpengaruh negatif terhadap rasa keadilan sosial dan kesetaraan sosial.
Korupsi menyebabkan perbedaan yang tajam di antara kelompok sosial dan individu baik dalam hal pendapatan, prestis, kekuasaan dan lain-lain. Korupsi juga membahayakan terhadap standar moral dan intelektual masyarakat.
Korupsi masih menjadi problem di negara-negara berkembang hingga saat ini termasuk Indonesia. Korupsi memang sudah menjadi budaya di negara-negara berkembang dan sangat sulit diberantas.
Untuk melakukan pemberantasan korupsi ternyata juga sangat banyak hambatannya. Sehingga bagaimanapun kerasnya usaha yang dilakukan oleh pemerintah melalui lembaga-lembaga negara ternyata korupsi juga tidak mudah dikurangi apalagi dihilangkan di Indonesia.
Sebagai negara yang menggunakan adat dan budaya ketimuran yang sangat menjunjung tinggi nilai – nilai moralitas dan kejujuran, sangat miris rasanya bila mengetahui bahwa negara ini menempati posisi 2 sebagai negara terkorup di Asia pasifik menurut survei The World Justice Project (sebagaimana penelitian Argiya,2013).
Fenomena pemimpin korupsi berbanding lurus dengan Salah satu penyakit politik dan penyimpangan hukum yang menodai citra pesta demokrasi dalam memilih pemimpin (pemilu) yaitu politik uang (money politics). Fenomena politik uang (money politics) mewarnai berbagai even pemilihan umum di tanah air.
Dalam literasi kajian Islam klasik, korupsi dan politik uang memang tidak ada bab tersendiri yang membahasnya, tetapi ada pembahasan yang menyerupai seperti Ghulul (penggelapan), Risywah (penyuapan), Ghasab (mengambil paksa harta orang lain) Khianat, Sariqah (pencurian) Hirabah (perampokan), dan al-Maks (pungutan liar).
Harmonisasi antara fenomena perilaku pemimpin yang koruptif dan budaya politik uang (suap) yang sejalan dan berbanding lurus mengingatkan penulis terhadap salah satu ungkapan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam kitab Miftah Daris Sa’adah bahwa pemimpin adalah cerminan rakyat.
“Dengan perenungan akan didapati bahwa diantara hikmah Allah Ta’ala adalah Dia menjadikan perilaku para raja, pemimpin dan penguasa adalah sejenis dengan perilaku rakyatnya, bahkan seakan-akan perilaku rakyat tercermin dalam gambaran perilaku pemimpin dan penguasa mereka. Jika rakyat lurus maka akan lurus pula penguasa mereka. Jika rakyat adil maka akan adil pula penguasa mereka. Jika rakyat berbuat lalim maka penguasa mereka akan berbuat lalim pula.” (Lihat: Ibnu al-Qayyim, Miftah Daris Sa’adah, 2/177-178).
Berdasarkan hal tersebut dalam rangka menyambut Pemilihan Umun tahun 2024 baik pemilu Presiden/Wakil Presiden, Kepala Derah hingga DPR/DPRD/DPD mari kita membuat sebuah perenungan untuk menghindari politik uang demi hadirnya pemimpin yang ideal.
Oleh: Muhammad Wahdini, S.H.,M.H
Dosen Universitas Muhammadiyah Palangkaraya dan Kandidat Doktor Politik Hukum Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.