sekata.id, TANJUNG – Namanya catatan. Sebetulnya ini adalah kisah. Kesah kata urang Banjar. Bisa juga disebut “pandiran warung” atau “pandiran di getek” merujuk kepada masyarakat Banjar di Sungai Barito. Pandiran warung itu adalah rentetan kisah tiada berkesudahan. Baru berakhir di saat langit runtuh. Jika ia adalah sebuah forum maka pandiran warung adalah sebuah forum dimana semua orang aktif, semua terlibat, dan semua bisa menjadi nara sumber, membahas banyak hal mulai dari soal politik hingga hantu beranak, tidak runut, tidak terstruktur, dan itu tadi tiada berkesudahan. Ada juga yang menamakannya sebagai “marudai”.
Berangkat dari situ, maka catatan yang saya tulis ini lebih banyak berisi sekelumit episode , dari banyak nara sumber dalam sebuah forum yang tiada berkesudahan. Karenanya kisah ini adalah hasil “ilmu dangar” berdasarkan pada “ujar bin ujar”, sekedar “mamutiki” apa yang dibicarakan. Warungnya pun berlokasi di kecamatan Murung Pudak, karena itu jamaah forum ini kebanyakan dari sekitar kelurahan Pembataan dan Mabuun, walau sesekali ada juga urang Sulingan ikutan nimbrung. Jadi jika “catatan” ini sampai ke ruangan anda, cukupkanlah ia hanya sebagai bahan renungan, teman di antara secangkir kopi dan sebatang rokok, bukan untuk di telaah dan dijustifikasi. Atau anggap saja ini seperti “pandiran di warung”. Dan beginilah kisahnya.
Menjelang pukul 5 sore, mobil yang kami tumpangi sudah mulai merangkak di kota Tanjung. Waktu itu tahun 1981. Perjalanan dari Rantau yang hampir empat jam ini cukup membikin pantat nyut – nyutan. Perasaan tadi semua penyakit turunan jadi kambuh gara – gara jalan yang berlumpur, berlobang, berbatu. Kalau belum puas saya tambahin lagi nih, menanjak dan menurun, persis lagu “ Naik-Naik Ke Puncak Gunung “. Tapi kalu disuruh nyanyiin sekarang, boleh aja sih sambil mewek.
Saya perhatiin para penumpang mulai menampilkan senyum pepsodent cemerlang masing – masing. Mulai deh ada yang teriak – teriak macam anak kecil ketemu mainan. Wajar donk, soalnya rata-rata baru kali pertama berkunjung ke Tanjung.
Thus, ngapain sich susah – susah berjibaku ke Tanjung ?
Tanjung adalah ibukota Kabupaten Tabalong. Paling utara di Kalimantan Selatan. Dari Rantau kurang lebih seratus tiga puluh kilometer. Tidak ada artis memang yang berdomisili di kota ini. Yang membuat Tabalong istimewa karena di sini ada perusahaan tambang minyak Pertamina. Di Rantau tidak ada tambang minyak. Jangankan tambang minyak, sumur bor aja cuman sa -ecret. Menurut ceritanya sih tambang minyak sudah ada di Tabalong ini sejak zaman Belanda. Sebelum Pertamina, operator tambangnya pun sudah beberapa kali berubah wujud. Tentu saja bukan karena para bule Belanda itu suka minum solar maka tambang minyak ini ada. Taruhan, bule juga manusia lho.
Nah Pertamina ini punya komplek perumahan “ mewah “ sendiri, dimana di depan setiap rumahnya terpasang obor yang selalu menyala tak kenal lelah. Obor – obor inilah yang mau kami lihat dan kunjungi ( macam keluarga aja pake dikunjungin segala ) di Tanjung, tepatnya di Murung Pudak. Bilang Owwww dunk. Atu dua tiga, owwwww……………….????
Udah ngerti kan sekarang ? Bukan gunung, bukan air terjun, bukan waterboom, tapi obor. Obor yang menyala terang di depan rumah, itulah yang kami pengin pelototin. Melewati jalan sengsara sejauh 130 kilometer. Dan karena jamaahnya berjejal maka kentut ama muntahanpun berhamburan sepanjang jalan. Ngeri ga !!!
Menjelang malam ( jangan protes dunk, tadi kan masuk Tanjungnya sekitar jam 5-an ) dengan tertib kami pun mulai antri naik ke mobil untuk menuju komplek perumahan Pertamina nan mewah di Murung Pudak. Banyak pesan dan nasihat mengiringi keberangkatan kami termasuk doa – doa dan mantra agar kami jangan kesasar . Lha iyalah karena kabarnya komplek perumahan ini paling banyak punya jalan. Bentuk rumahnya pun mirip – mirip kayak kembar gitu.
Singkat cerita, kamipun sudah berada di komplek perumahan Pertamina. Memang benar kata orang, komplek itu terang benderang. Sepupu saya sampai linglung melihat obor – obor yang terang benderang itu. Seingat saya kalau dia tak sempat menutup mulutnya, pasti sudah kesurupan.
Tahun 1978 terang adalah mimpi. Malam selalu kami lalui dalam gelap. Listrik masuk desa masih di alam rahim. Jadi belum ada ( pahamkan ? Wong lahir aja belum ). Berjalan – jalan di malam hari hanya dilakukan oleh orang – orang yang cari kerjaan atau mereka yang sedang mencari wangsit karena lambat jodoh. Gak usah pusing membayangkan ketika kami dihadapkan dengan terang yang membelah malam di komplek Pertamina ini , ayam sayapun bisa langsung kelimpungan. Sungguh sebuah pengalaman nan berkesan dan tak mungkin terlupakan. Sepanjang jalan kenangan di kompek perumahan Pertamina Murung Pudak.
Waktu itu, bukan hil yang mustahal kalau jamaah kami cuma salah satu dari sekian rombongan wisatawan geblek yang mengunjungi Tanjung untuk tujuan melihat terang di gelap malam. Komplek perumahan Pertamina bukan hanya berbicara soal gengsi dan janji kemewahan, tapi juga keajaiban yang menarik minat orang untuk menikmatinya. Tambang minyak sendiri juga menjadi magnet yang menarik banyak orang berdatangan ke Tabalong. Mulai kelas kuli hingga manager. Tabalong pun menjadi sangat heterogen di banding kota – kota lain di Kalimantan Selatan.
Tahun berlalu. Zaman berganti. Generasi berlanjut. Mereka yang tadinya imut, ganteng, bungas, cantik n ranum, sudah menjadi kakek nenek yang selalu ngomel karena kehilangan tongkat. Lewatlah sudah era Mashabi, Natking Cole, Frank Sinatra, Bing Slamet, atawa Ratmi B29. Muncul generasi gress era Godbless hingga Peter Pan. Dan di komplek perumahan Pertamina itu entah kapan obor – obor mulai menghilang. Yang tersisa kemudian hanya obor bandel di Monumen Tanjung Puri Mabuun yang seakan sengaja hadir untuk mengungkit kenangan akan jalan yang berminyak. Seiring goyangan apinya yang menusuk pilu ke dalam kalbu.
“ Terang membelah malam “ tinggal nyanyi sunyi pengantar bobo dari para tetuha, walaupun di beberapa sudut kampung, pompa – pompa penyedot minyak yang mirip burung pelatuk itu masih bisa ditemukan. Walaupun sebutan “ Bos Tanjung “ masih kerap terdengar di Banjarmasin , namun itu terasa hambar, tidaklah semanis dulu. Tabalong sempat mengalami “ low power “ beberapa waktu.
Akan tetapi Tabalong tidak mati. Tidak percuma para tetuha mengusung Sarabakawa sebagai mantra kabupaten ini. Walau obor – obor Pertamina meredup, Tabalong pun masih berani menempelkan “ Tanjung Bersinar “ sebagai trademark nya. Sumur minyak boleh mengering, tapi ada berkah lain sedang menggeliat dari dalam perut bumi. Berkah itu bernama batu bara. Meski hitam, tapi manis. Hitam manis. Ga kayak elu, hitam kecut.
Tahun 1992, sebuah perusahaan tambang batu bara bernama Adaro Indonesia mulai melakukan penjualan komersial pertamanya. Perusahaan ini adalah PMA yang di lego oleh PT Bukit Asam. Adaro sendiri merupakan nama keluarga insinyur tambang terkemuka di Spanyol.
Tabalong kembali membara. Dulu dibakar minyak, sekarang dipanasi batu bara. Kalau dilumuri memang sama itemnya. Warna hitam sepertinya menjadi berkah tersendiri bagi Tabalong. Mobil – mobil perusahaan mulai berseliweran di jalanan. Pelita harapan mulai bersemi di tengah masyarakat. Seragam bergaris mengkilat menjadi idola baru. Asal memakai seragam dengan garis mengkilat ini, semuanya di jamin lancar. Bisa menjadi jaminan transaksi pinggir jalan (ini disebut “buhan panjablaian”), mengambil kredit di bank, hingga dipakai untuk melamar janda atau anak perawan. Mulus tanpa perlu banyak cingcong.
Mesin Adaro terus bergerak dari 1992. Tahun 2004 Adaro resmi menjadi perusahaan milik swasta Indonesia. Berpindah dari PMA tapi produksinya justru merangkak naik . Dari 1 – 2 juta ton hingga 24 juta ton di tahun 2007 sampai terus meningkat ke angka 50 juta ton. Dari karyawan yang jumlahnya ratusan tiba-tiba membengkak di angka dua puluh ribuan.
Seiring dengan itu, efek domino keberadaan Adaropun bergerak liar bagai janda kembang yang hinggap kesana kemari. Pusat – pusat bisnis pun mulai bermunculan di Tabalong. Yang paling seru adalah bisnis kuliner. Seakan tak pernah henti selalu ada rumah makan baru yang datang memberi kejutan. Bisa setiap bulan, tiga bulan, enam bulan. Tapi kalau warung makan soto lamongan tiga hari sekali lahirnya. Jangan coba – coba menghitung jumlah kelahiran penjual pentol bakso , sempolan ayam, dan “ warung jablai” . Bisa mumet kepala.
Tabalong telah menjadi pilihan pertama untuk membuka bisnis. Wong Solo di Tabalong menempati urutan kedua dibuka setelah Banjarmasin. Hotel Aston menjadi yang pertama di Kalimantan Selatan. Kentucky Fried Chicken juga tidak mau ketinggalan, bersolo karir ia di Banua Anam. Berdiri megah tetanggaan sama Hotel Aston, seakan menasbihkan diri sebagai sebagai pengantin pendamping. It’s good to have it in the room, mungkin begitu pesannya. Tepat di seberangnya tersenyum sumringah setengah menggoda bangunan karaoke terbesar pertama se-Banua Anam, Inul Vizta yang sekarang berganti menjadi DC Karaoke. Lengkap sudah. Sarabakawa Tanjung seakan bisa saja berubah menjadi Sarabaada, minimal bagi warga Masyarakat Banua Anam.
Yang juga berlari mengiringi pertumbuhan bisnis ini adalah perumahan. Asal ada lahan kosong, segera tumbuh komplek perumahan. Apakah ada bandung Bondowoso atau tidak, kecepatan tumbuhnya komplek perumahan ini sangat menakjubkan. Di lahan apapun jadi. Mau perbukitan ataupun lahan rawa berair tidaklah masalah. Kalau perlu digusur ya digusur. Kalu perlu ditimbun ya ditimbun. Tinggal PDAM yang ngos – ngosan kehiangan nafas. Peningkatan fasilitasnya tidak mampu menandingi kecepatan tumbuhnya perumahan. Entah perumahannya yang hypervitaminosis, atau PDAM nya yang avitaminosis. Wallahu a’lam.
Tahun 2015, secara tak terduga badai menghantam bisnis batu bara. Demand menurun, harga melemah. Jadi komplit, macam nasi campur. Ibarat Tsunami, sebetulnya gejala ini sudah bisa terbaca sejak tahun sebelumnya. Gempa-gempa kecil sudah terasa. Namun hanya perusahaan saja yang bersiap mengambil ancang – ancang. Masyarakat justru terlena.
Seragam dengan garis berkilat para pekerja tambang sempat kehilangan marwah, tidak lagi menjadi idola. Bank dan orang tua mulai meragu. Dirumahkan menjadi ancaman serius bagi para karyawan. Gaya hidup pun mulai menurun. Janji – janji membelikan HP, tablet, sepatu, bagi sang kekasih di reschedule. Mulai banyak rumah yang bertempel tulisan “ dikontrakkan” atau malah “ dijual “. “ Warung – warung jablai “ mulai sepi kedinginan.
Seiring dengan hal tersebut kinerja perkebunan karet juga melemah. Baunya tetap sama, tapi harganya terjun bebas, jatuh terperosok ke jurang dalam seakan tidak mungkin lagi balik ke permukaan. Tidak ada lagi yang berani berandai harga satu kilo karet sama dengan satu kilo gula pasir. Padahal hasil kebun karet juga merupakan salah satu penggerak perekonomian bagi Tabalong.
Tahun 2015, atau apa yang jauh sebelum itu terkait dengan kehebohan hasil sumber daya alam, mestinya menjadi pelajaran yang patut menjadi sebuah refleksi. Belum sempat kita berdiri sempurna datang pula gelombang Pandemi covid 19 di tahun 2020 hingga 2022. Apakah Tabalong kembali mengalami “ low power “ ? Jangan lupa kita masih memiliki asa nun jauh di gunung Jawuk, di sepanjang sungai Salikung, di lereng Gunung Sialing, di dinginnya Gua Liang Kantin. Dan masih banyak lagi yang lainnya…………………
Tahun 2000-an Tabalong sudah meramu sebuah kalimah sakti yang berbunyi Segi Tiga Emas Pertumbuhan. Jika berbicara Kalimantan Selatan, Tabalong memang letaknya di ujung dapur. Dari Banjarmasin memerlukan waktu 6 – 7 jam perjalanan darat. Tahun 90-an radiator sempat berasap baru bisa ketemu warung bakso legendaris Solo Puri yang menandakan bahwa kita sudah mulai menjejak tanah di ujung kota Tanjung. Namun jika di pandang dari Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan sekaligus, Tabalong sesungguhnya berada di depan, di beranda masing-masing ke tiga provinsi tersebut. Ketiganya bertemu sua di Tabalong. Inilah Segi Tiga Emas bagi Tabalong.
Posisi ini sebuah keunikan sekaligus keunggulan. Segi tiga dan apa yang ada di baliknya memang mengandung potensi. Bisa baik, bisa pula buruk. Jika “goyangan”nya pas akan banyak berkah bisa dimunculkan dari situ. Tentu saja bukan sekedar dengan berdoa, akan tetapi harus diikhtiari melalui sebuah upaya keras yang dimulai dari sebuah mindset atau paradigma yang tepat. Dan mindset itu adalah Tabalong sesungguhnya di depan, bukan di belakang. Dari sini dapat diluncurkan sebuah perencanaan, suatu renstra baik untuk jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang. Tujuan akhirnya adalah mewujudkan Tabalong sebagai pekarangan yang layak bagi ketiga provinsi, Kalimantan Selatan, Tengah, dan Timur. Pekarangan berarti adanya di depan, kalau di belakang adanya kandang bebek atau kebun lombok. Ini bukanlah perkara mudah. Mencapainya pun harus berlari, tidak boleh lagi berjalan santai. Minimal harus 200 km/jam supaya bisa menyaingi Rossi. Karena kalau 10 km/jam saingannya gerobak sapi.
Maka dari segi tiga besar tersebut, Tabalong sejatinya juga terbagi kepada Segi Tiga Pertumbuhan yang lebih kecil. Segi tiga yang membagi wilayah pertumbuhan dan pembangunan Tabalong menjadi utara, Tengah, dan Selatan. Di Utara ada sumber daya alam seperti batu bara, perkebunan karet dan sawit menghijau, begitu juga hasil lada, ada juga emas keluar dari perut buminya. Di Selatan sawah terhampar bagai tiada putusnya, banyak pula ikan berloncatan dari lubuk dan sungainya. Lalu apa yang ada di tengahnya ? selain pusat pemerintahan, di wilayah tengah lah pusat perputaran uang itu harusnya berada.
Kemudian ada segi tiga yang lebih kecil pula yaitu segi tiga pertumbuhan Puri MaWar (Tanjung Puri, Mabuun, dan Warukin). Semua wilayah di segi tiga kecil ini, terutama Mabuun di wilayah Tengah harus dipercepat pengembangannya agar dapat menjadi magnet pertumbuhan ekonomi ( growth magnet) Tabalong yang akan di sokong oleh Tanjung Puri dan Warukin .
Untuk mematut diri sebagai pekarangan yang layak menjadi tempat bersua dan berkencan, berdirilah gedung parlemen yang sempat menahbiskan diri sebagai bangunan termegah se-Banua Anam. Bangunan yang jika dipandang dari atas mirip sosok burung Jui/Haruai lagi bersantai ini bahkan bisa juga merupakan gedung parlemen terbesar se Kalimantan Selatan waktu itu. Keberadaan gedung parlemen nan megah ini bisa dimaknai sebagai kebangkitan semangat masyarakat madani di Tabalong. Salah satu yang menjadi simbol kemajuan sebuah daerah. Sayang fasilitas selfi belum secanggih seperti sekarang, padahal gedung parlemen ini juga sempat menjadi tujuan wisata di Tabalong. Banyak orang ke Mabuun hanya sekedar ingin melihat dan menyempatkan diri berfotoria di depannya. Saya yakin mereka itu pasti bukan sekedar orang-orang gabut.
Satu pekerjaan besar lain juga dirintis. Tabalong mesti memiliki pusat perbelanjaan yang lebih modern agar berbeda dari kabupaten lain dan agar pantas di sebut sebagai kota. Sebuah bangunan yang diproyeksikan menjadi mall (Mall Thoyyibah) kemudian dibangun di lingkungan terminal Mabuun. Pun pula-sebagai pendukungnya- di dorong adanya pasar baru di sekitarnya dengan dicanangkannya Pasar Salasa sebagai upaya menambah gerak perputaran uang dan menjadi trigger pertumbuhan di wilayah tengah.
Tidak semuanya berjalan mulus memang. Sekarang bulan Desember tahun 2023. Bupati Anang Syakhfiani barangkali bisa menutup periodenya dengan seulas senyum. Diyakini Tabalong sudah di depan. Bukan hanya di depan tapi terdepan. Bentuk T pada jari sebagai simbol Tabalong Terdepan sudah tidak asing lagi di tengah masyarakat. Simbol yang selalu ada di setiap kegiatan perfotoan. Dua ruas jalan besar yang melingkar dari titik Mabuun sebelah timur hingga Tanjung Selatan sudah terbangun. Sebagai sebuah kabupaten di Banua Anam Tanjung Expo Center juga menjadi sebuah kebanggaan. Karena hanya Tabalong yang punya expo center. Masjid Ash-shirotul Mustaqim di pugar berikut taman di depannya untuk mengimbangi gemerlapnya kehidupan di Pembataan dan Mabuun. Menjamurnya hotel, guest house, café seakan turut menabuh gendang agar Tabalong semakin lincah berlari menuju Metropolitan. Bisnis batu bara juga sudah membaik. Beberapa usaha tambang batu bara baru mulai bermunculan di wilayah Tabalong. Menteri Keuangan RI juga menghadiahi Tabalong dengan segepok uang sebagai reward atas kinerja yang bagus di bidang pengendalian inflasi. Sektor pariwisata juga mulai merebak di tingkat pedesaan. Dampak dari itu semua barangkali akan mengubah Tabalong dari nomor urut paling buncit, nomor urut sepatu untuk dikunjungi ke nomor urut kepala, bisa jadi nomor 1 di Banua Anam. Seperti kata orang, big amount big chance. Peluang investasi sebagai ikutannya akan juga semakin terbuka. Pertanyaannya adalah apakah Tabalong -di kelasnya- juga sedang bergerak ke arah magnet city ?. (GPCI defines a city’s ‘magnetism’ as its overall power to attract creative individuals and enterprises). Jadi magnet city adalah a city with strong magnetic pull draws in new residents, visitors, and business investment. Dan apakah masyarakat Tabalong sudah bersiap diri atau disiapkan menyambut para tetamu yang akan berdatangan itu ?. Siap secara ekonomi, siap secara budaya, siap secara skill, dan siap secara intelektual.
Sebagai seorang muslim, saya ingat sebuah doa yang -saya akui- jarang saya baca. Doa saat berpakaian. Doa itu berbunyi demikian :”Allahumma kama hassanta khalqiy, fahassin khuluqiy”, ya Allah sebagaimana Engkau baguskan rupaku, baguskan lah pula akhlak kepribadianku”.
Dulu pernah ada lelucon mengenai keturunan idaman. Pertanyaan bagaimana keturunan idaman itu mendapatkan jawaban : muka Marilyn Moenro, tapi otaknya Gus Dur. Trus, seorang kyai menambahkan.” Harus banyak doanya, “kata pak kyai. ‘Jika tidak , bisa cilaka,jadi terbalik, muka Gus Dur, otak Marilyn Monroe”.
Ber-make up sudah dirasa cukup. Meski masih perlu beberapa usapan, tetapi alat make upnya sudah memadai. Tabalong mesti mulai lebih fokus kepada “khuluqiy”. Bukan karena kurang. Namun agar di bidang ini juga dapat menjadi yang terdepan. Dulu saya pernah berbincang dengan seorang pekerja asal Korea Selatan. Dia bekerja di proyek TPI. 정말입니까 ? Dia kebetulan bisa bahasa Inggris. Waktu itu dia menyatakan bahwa sebetulnya dia berniat membawa keluarganya ke Tabalong. Masalahnya cuma satu. Dia bingung soal pendidikan anaknya. Dia belum yakin pendidikan yang ada di Kalimantan Selatan dan di Tabalong khususnya bisa sebagus di tempat asalnya.
Jadi… kita bisa bicara soal bagaimana fasilitas pendidikannya. Kita juga bisa berbicara kualitasnya, pun pula kita bisa membicarakan kesiapannya untuk mencetak generasi yang sanggup memikul beban sebagai penduduk dunia (global citizen) dengan segala perniknya. Mulai dari tantangan kemajuan sains dan teknologi hingga ancaman degradasi moral budi pekerti. Bagi anak-anak kita, masa depan adalah dunia robot. Masa depan adalah manusia mesin, jantung buatan, transpalantasi organ, genomik. Masa depan adalah kode-ifikasi uang, pasar, dan kepercayaan. Bahan mentah masa depan bukan lagi tanah atawa besi. Era agrikultura dan era industri sudah memasuki masa pensiun, sudah MPP. Masa depan adalah era informasi yang bahan mentahnya adalah Data !
Sudah siapkah sekolah-sekolah kita ?
Selanjutnya ada istilah ini, jiwa yang sehat akan tumbuh dalam badan yang sehat. Lalu bagaimana mengenai fasilitas dan pelayanan kesehatan kita ? Haruskah orang Tabalong berobat ke kabupaten lain ? Saya pernah bertemu orang Tabalong yang jauh-jauh ke Kandangan hanya untuk menambal gigi. Ada pula yang cuma ingin memeriksakan mata. Pelayanan kesehatan yang bagus menjadi sebuah tuntutan yang pada umumnya bersaing ketat dengan pelayanan pendidikan yang bagus. Keduanya hanya selalu -pada orang-orang yang berbeda- bertukar tempat.
Semua make up tiadalah berguna. Jika otak ancur, kepribadian lacur, kesehatan bocor, apalah artinya segala manikur pedikur. “Kenapa istri idamanmu kok tidak terlalu cantik, tidak bohay ?, tanya seseorang kepada temannya.”Takut,”jawab temannya itu. ”Takut, porsi otaknya habis kesedot ama body dan mukanya”. Barangkali ini adalah ketakutan yang tidak berdasar. Ini mungkin parno level fatal, namun tetaplah ia rasional. Karena ia rasional, patutlah ia dipikirkan oleh siapapun yang akan memimpin Tabalong ke depan. Wallahu a’lam. (*)