sekata.id – Hari raya Idul Fitri 1445 H merupakan kepompong metamorposis manusia terlahir kembali suci. Pribadi suci itu menjadi modal penting bagi elit politik membingkai semangat kebangsaan mengyonsong pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2024 yang sudah di depan mata.
Jalan menuju pilkada yang diwarnai dengan dinamika dan intrik kemudian dapat dilewati. Masyarakat nantinya dapat menggunakan hak kuasanya menyerahkan amanah dengan rela dan senang hati, tanpa noda transaksi dan klientilisme apapun yang membuat demokrasi terhianati.
Idul Fitri tahun 2024 menyediakan ruang begitu luas agar balutan maaf memaafkan juga bisa disisipi pembicaraan – pembicaran suci. Pembicaraan yang mengajak kepada semangat mensinergikan tujuan berpemerintahan guna mewujudkan kehidupan penghuni daerah ini lebih sejahtera dan berkeadilan dalam kehidupan sosialnya.
Komunikasi suci dapat diaktualisasikan dalam praktik penjajakkan koalisi. Mempertimbangkan dan saling menimang kebaikan di antara para elit dan actor politik menjadi penting guna mewujudkan pemerintahan efektif dalam mengawal program-program yang terkalang oleh sumpah dan janji saat kampanye nanti.
Saling sowan dengan membawa semangat Idul Fitri dapat mencegah pembicaraan politik dari niat -niat yang menghalalkan segala cara. Pada akhirnya momentum syawal dapat menjadi bingkai menciptakan kontestasi pilkada damai, persaudaraan elit untuk sama-sama berhikmat pada rakyat, bukan berkolaborasi menjadi sekawanan gagat dan rayap.
Aktor politik harus menjadi teladan yang mengajak kepada mengaktualisasikan hikmah Ramadhan. Sebulan penemapaan dalam “kepompong” seyogyanya mampu menjadikan para elit menjadi kupu-kupu yang memesona. Mampu tampil dengan akhlaq yang lebih mulia dan mampu membawa semangat itu dalam praktik bernegara yang kemudian rakyat terbawa suasana bahagia.
Masa pendaftara pilkada sudah dekat. Sementara peta kekuasaan di legislative sudah begitu jelas. Kekuatan partai politik sebagai infrastruktur demokrasi sudah tergambarkan, mana yang mampu melaju sendiri dan mana yang mampu berlari dengan menggandeng pihak lainnya.
Terlepas ada partai poltik yang memenuhi syarat melaju sendiri, bukan tidak penting lagi partai partai lainnya. Kehidupan politik tidak bias dijalani secara sendiri. Koalisi partai tetap dibutuhkan. Keberanian untuk mengetuk pintu “assalamu’alikum” ke partai lain harus dilakukan. Mumpung parsel lebaran belum habis, bisa dinikmaati bersama seduhan kopi yang disertai dengan janji jiwa.
Keraguan dan belum bulatnya hati masuk gelanggang kontestasi sebaiknya kembali. Sebab amal tujuan pengabdian yang meragu tidak mendapatkan imbalan yang maksimal. Maka, mengamankan sejumlah kursi DPRD menjadi penting, jika lengah akan ketinggalan kereta. Jika pun sempat ikut masuk dalam kereta, ada banyak kesempatan penting di dalamnya yang terlewatkan.
Jangan ragu lagi. Politik satu di antara banyak medan pengabdian yang menawarkan pahala – pahala kebaikan. Policy atau kebijakan yang keluar dari actor kekuasaan dapat menjadi manfaat dan amal ibadah yang sangat banyak.
Momentum Idul Fitri adalah kesempatan tepat dimana niat baik harus ditransformasikan ke dalam bahasa komunikasi politik untuk meraih keberlanjutan kemenangan yang suci.
Namun hal harus diingat, bahwa politik juga menyediakan ladang kebinasaan, manakala kekuasaan dijadikan kesempatan untuk menumpuk harta, sementara rakyatnya menjerit sebab harga beras begitu menggila.
Apakah semangat Idul Fitri di Banua kiat mampu dijadikan keberlanjtan kemenangan yang suci untuk membingkai politik menjadi medan pengabdian suci?
Wallau’alam bisawab!