sekata.id, Kebijakan pemerintah memberikan izin pengelolaan tambang kepada ormas keagamaan tak perlu buru – buru disambut, walau terdapat diantaranya yang bersemangat menerima “hadiah” belied tersebut.
Pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 yang merupakan revisi atas PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara tersebut dapat melanggengkan praktik kehidupan demokrasi tidak sehat.
Belied yang dibanggakan Menteri Investasi dan Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia tersebut dapat mengokohkan praktik klientelisme yang ditanam subur oleh rezim penguasa yang mengendalikan pemerintahan.
Pemberian spesial hak penambangan kepada ormas keagamaan tidak dapat dipisahkan dari praktik politik balas budi dan relasi kekuasaan patronase – klien yang menjadi tempat permisif bagi fork barrel atau politik gentong babi yang pada pemilu 2024 telah menjadi sorotan dunia.
Bau tak sedap izin tambang kepada ormas keagamaan sulit ditepis sebagai bukan bagian dari hadiah dari praktik politik klientelisme.
Klientelisme dewasa ini menjadi pemicu tumbuh-berkembangnya politik uang (money politic), vote trade, vote broker dan premanisme politik.
Hal itu menjadi strategi umum para politisi untuk menundukkan dan menjinakkan lawan dan konstituen termasuk ormas – ormas tertentu.
lahirnya PP No 25 Tahun 2024 jelas sebagai hadiah yang diberikan penguasa atas jasa – jasa yang berkaitan terhadap elektoral dalam kepemiluan.
Hal tak kalah penting bahwa kebijakan tersebut berpotensi menyeret ormas keagamaan sebagai bagian aktor yang berkontributif atau minimal menjadi pihak yang kompromistif terhadap degradasi lingkungan di ketika dunia sedang bermigrasi ke energy green dan meninggalkan energi fosil.
Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) tegas menolak kebijakan pemerintah tersebut. Pihak KWI menegaskan ormas yang didirikan tahun 1927 tersebut hanya ingin fokus dengan dengan tugas-tugas yang berkesesuaian dengan tujuannya, yakni kerasulan diakonia (pelayanan), kerygma (pewartaan), liturgi (ibadat), dan martyria (semangat kenabian), bukan mengurus usaha tambang.
Mantan Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin juga melakukan seruan serupa kepada persyarikatan yang pernah dipimpinnya selama dua periode tersebut. Dia megungkapkan, pemberian izin tambang kepada Muhammadyah merupakan potensi sebuah jebakan, jadi seyogyanya ditolak.
Muhammadiyah sendiri pun kemudian tidak buru – buru menyambut tawaran itu. Selain tidak ada pembicaraan dengan pemerintah, tawaran tersebut juga mesti dibahas mendalam sebelum diambil keputusan.
Salah satu organisasi Islam terbesar yang memberi kontribusi penting pada perjalanan bangsa Indonesia selama ini selalu menjaga khitah nya untuk tidak masuk ke dalam partisan politik tertentu agar terjaga maruwah kerisalahan dan merahmatan, amar ma’ruf nahi munkar.
Kebijakan pemerintah tersebut juga berpotensi bertentangan dengan UU Minerba yang memberikan ketentuan akses mendapatkan IUP harus melalui proses lelang.
Penambahan frasa ormas keagamaan dalam peraturan pemerintah dapat menimbulkan permasalahan. Belum lagi akan berpotensi menyeret ormas keagamaan ke dalam konflik rumit yang berhadap – hadapan dengan konstituennya sendiri.
Pada akhirnya sulit bagi saya untuk tidak menyimpulkan bahwa pemberian izin tambang kepada ormas keagamaan adalah sebagai imbal politik dari praktik klientelisme pada pemilu 2024 lalu.
Hubungan ini mesti dipahami dalam kerangka esensial dari klientelisme: quid pro quid, sesuatu untuk sesuatu. Dalam pandangan Stokes (2013) dan Hicken (2011) dipahami sebagai “pertukaran yang kontingen”.
Ormas keagamaan hendaknya teguh pendirian dalam khitahnya mengawal dan mempertumbuhkan moral anak bangsa, menjaga jati diri dan orientasi organisasi membangun keumatan yang berselaras kepada tujuan keilahian dan nilai-nilai kemanusiaan serta kesemestaan.
Jika tidak maka bangsa besar ini akan kehilangan pilar penjaga sebab ormas keagamaan akan terjebak pada sikap politik transaksional dengan aktor politik yang pragmatis dan kolutif
Ormas keagamaan akan kehilangan kontribusi yang kritis dan konstruktif sebab telah menjadi bagian pihak yang eksploitatif terhadap usaha – usaha ekstraktif. (*)